Kamis, 03 April 2008

Malin Kundang yg durhaka.....



REVOLUTION IN MILITARY AFFAIR (RMA),
PEPERANGAN GENERASI KEEMPAT,
dan TERORRISME (versi: hampir serius)

BAB I
PENDAHULUAN

1. Umum.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat membawa kemajuan disegala bidang termasuk komunikasi, informasi, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Teknologi informasi (IT) dan Manajemen informasi modern telah menimbulkan perubahan yang signifikan dalam kegiatan militer. Perubahan signifikan ini kemudian dipopulerkan dengan istilah Revolution in Military Affairs (RMA). Revolution in Military Affairs merupakan suatu perubahan yang revolusioner tentang bagaimana perang dilaksanakan dan dimenangkan, yaitu menggunakan kekuatan secara efektif dan efisien. RMA meliputi perubahan paradigma sifat alamiah dan pelaksanaan operasi militer. Perubahan besar dan mendasar sifat alamiah peperangan tersebut disebabkan oleh penerapan inovasi teknologi yang dikombinasikan dengan perubahan doktrin militer dan operasi serta konsep organisasi, oleh karena itu akan menghasilkan suatu karakter militer baru dalam melaksanakan operasi militer.

Secara teoritis ada dua pendekatan mengenai RMA, yakni pendekatan sistem dari sistem sistem (System of the system approach) dan pendekatan tiga komponen, yaitu teknologi, doktrin dan organisasi (triad of technology, doctrine and organisation). Pendekatan pertama yaitu sistem dari sistem sistem lebih menekankan kepada pemanfaatan teknologi maju. Kelompok yang menggagas teori ini disebut dengan kelompok Realist View, penggagasnya adalah Admiral Bill Owen seorang mantan Vice Chairman of the Joint Chiefs of Staff USN. Pandangan kelompok ini mengatakan bahwa RMA terjadi akibat adanya integrasi dari empat faktor baru dan bersatunya area peperangan. Empat faktor baru tersebut adalah: Precision strike (serangan yang akurat); Information warfare (informasi peperangan); Dominating maneuvers (kebebasan untuk bermanuver) dan Space warfare (peperangan ruang angkasa). Keempat faktor baru tersebut sangat membutuhkan dukungan dari teknologi maju seperti satellite, network centric warfare (komputer dan perangkatnya) serta sistem persenjataan yang handal (misalnya pesawat siluman dan kapal selam siluman serta rudal rudal cerdas).

Sedangkan pendekatan kedua, melalui tiga komponen berpengaruh dalam militer yaitu teknologi, doktrin dan organisasi (triad of technology,doctrine and organisation) pendekatan dengan cara ini digagas oleh kelompok Revisionist View. Kelompok ini mengatakan bahwa RMA terjadi diakibatkan adanya perubahan lingkungan strategis yang mengakibatkan teknologi memiliki pengaruh dalam hubungan atau perilaku militer, yang mana hal ini akan berakibat adanya perubahan terhadap doktrin militer dan struktur organisasi. Kehadiran RMA akan dirasakan apabila adanya suatu perubahan yang dapat merubah karakter konflik secara dramatis pada periode waktu yang sangat singkat. Perubahan tersebut menyebabkan terjadinya perubahan yang ekstrim pada doktrin militer dan organisasi yang dibutuhkan. Indikator suatu negara sedang mengikuti pengaruh RMA atau tidak dapat dilihat dari seberapa besar militer negara tersebut berubah serta seberapa besar dampak dari perubahan tersebut pada musuh atau bakal musuh (target) dan pendukungnya (negara dan stakeholder lain). Indikator lain adalah untuk dapat mempertahankan diri, tidak ada pilihan lain bagi suatu militer secara cepat harus mengadopsi teknologi baru serta memerlukan organisasi yang berbeda untuk implementasinya.

RMA yang terjadi di abad 21 ini adalah revolusi teknologi, revolusi doktrin dan revolusi organisasi. Revolusi pertama yaitu Revolusi teknologi ditandai dengan adanya precision force and precision guided munitions (kekuatan yang sangat akurat dan amunisi berkemampuan akurat yang terkendali). Kemajuan teknologi di jaman modern yang paling terkenal adalah ditemukan dan dikembangkannya peluru kendali yang akurat atau yang disebut dengan istilah senjata pintar, seperti peluru kendali penjelajah Tomahawk. Selanjutnya adalah meningkatnya kemampuan proyeksi kekuatan (force projection), termasuk senjata siluman (stealth weapons) dan Unmanned Combat Aerial Vehicle (UCAV),serta meningkatnya Battle Space Awareness and Control (Kewaspadaan terhadap mandala tempur dan pengendaliannya). Revolusi teknologi ditandai juga dengan integrasi dari IT yang baru kedalam sistem senjata-senjata yang sudah ada dan terintegrasi dengan C4ISR (command, control, communications, computers, intelligence, surveillance, reconnaissance). Kemajuan-kemajuan teknologi militer baru tersebut dapat merubah cara-cara perang itu sendiri dilaksanakan

Revolusi yang kedua pada doktrin dan operasi militer, yaitu percobaan dengan teknologi untuk membuat jenis peperangan baru. Operasi militer akan lebih bersifat gabungan dari pada matra tunggal. Kekuatan kemenangan diperoleh dengan meningkatnya kemampuan mobilitas, manuver dan besarnya kekuatan yang digerakan secara bersamaan. Revolusi ini mengintegrasikan mandala peperangan ketiga matra sehingga harus bekerja lebih dekat secara bersama-sama. Revolusi ini juga memungkinkan terjadinya operasi militer gabungan antar negara.

Revolusi ketiga adalah revolusi organisasi dimana terjadi pergeseran dari Angkatan Darat yang besar ke yang lebih kecil, lebih berpendidikan dan profesional. Dikendalikan oleh pembuat keputusan yang tidak terpusat dengan adanya network centric warfare. Empat pilar yang menjadi dasar operasionalnya adalah dominasi gerakan, keterlibatan yang presisi, dimensi perlindungan, dan logistik yang terpusat. Tidak akan ada RMA sejauh ini tanpa melalui perubahan institusi (Kerjasama, revolusi bisnis pada manajemen , Integrasi sipil dan militer).

Kecenderungan perkembangan global tersebut mempengaruhi karakteristik ancaman dengan munculnya isu-isu keamanan baru yang memerlukan penanganan dengan pendekatan yang lebih komprehensif dan integratif. Moda peperangan telah bergeser ke generasi baru yaitu peperangan generasi keempat (4th Generation of War). Istilah peperangan generasi keempat (4GW) terdefinisi dalam doktrin militer Amerika Serikat (AS) tahun 1989. Awalnya konsep 4GW dikemukakan oleh William S Lind, Colonel Keith Nightengale (USA), Captain John F. Schmitt (USMC), Colonel Joseph W. Sutton (USA) dan Lieutenant Colonel Gary I. Wilson (USMCR) dalam sebuah tulisan Marine Corps Gazette (Warta Korps Marinir) yang diberi judul The Changing Face Of War Into The Fourth Generation . Hal ini mengacu kepada sifat peperangan yang kembali ke bentuk desentralisasi, negara kehilangan kontrol terhadap kekuatan perangnya, sifat yang sama ditunjukan pada jaman pra modern.

Secara sangat sederhana 4GW didefinisikan sebagai perang yang melibatkan paling tidak satu pelaku utamanya adalah bukan Negara, melainkan suatu jaringan dengan ideologi yang kuat, secara singkat terminologi 4GW adalah asymmetric warfare atau terorisme. Adapun karakteristik utama 4GW (sering juga disebut sebagai tidak bertuan atau stateless) yaitu: kaburnya antara perang dan politik, kaburnya antara tentara dan sipil, kaburnya antara masa damai dan konflik serta kaburnya antara wilayah konflik dan wilayah aman. The Fourth Generation Warfare dapat juga dikatakan sebagai strategi paling berhasil dari Scorched earth yaitu suatu taktik militer yang bertujuan tidak meninggalkan apapun yang dapat dimanfaatkan oleh musuh, bisa dilakukan di wilayah musuh atau juga di wilayah sendiri. 4GW sering dijumpai di wilayah yang dinyatakan sebagai Negara gagal (failed states) dan perang sipil terutama perang yang melibatkan non state actor, perang antar ethnic atau isu agama. Dalam implementasinya 4GW menggunakan 3 (tiga) tingkatan yaitu tingkat fisik (perang fisik, merupakan aspek yang kurang penting), tingkat mental (keinginan untuk bertempur,kepercayaan untuk menang) dan tingkat moral ( aspek yang paling penting, termasuk budaya, norma dll).

Karakteristik lain dari 4GW adalah tersebarnya kekuatan secara desentralisasi dan bahkan mungkin bukan merupakan sebagai pasukan tempur (non combatant), dengan improvisasi grup-grup kecil tersebut akan melawan kekuatan atau sekutu musuh yang berakibat melemahkan kekuatan musuh. Disamping itu pusat kekuatan (COG – Center Of Gravity) telah berubah. COG mereka terletak pada nasionalisme, keluarga atau kehormatan grup, sehingga menjadi problematik dalam penerapan strategi untuk memerangi 4GW. Dalam 4GW keterlibatan perang elektronik tidak bisa dihindari seperti penggunaan internet dan hacker. Peperangan generasi keempat merupakan konsep baru yang berpijak pada masyarakat yang saling terhubungkan, lintas negara dan berbasis informasi. Di sini semua jaringan politik, ekonomi, sosial dan militer yang tersedia digunakan untuk melakukan serangan langsung terhadap keinginan (the will) pemimpin politik musuh. Di sini sasarannya adalah untuk mengubah pemikiran para pembuat kebijakan musuh secara langsung.Konsep dasar peperangan generasi keempat yaitu keinginan politik yang lebih kuat dapat mengalahkan kekuatan ekonomi dan militer yang lebih besar. Dengan kata lain, peperangan generasi keempat karakteristiknya bersifat politik, berkepanjangan dan terhubung dalam jaringan. Untuk menghancurkan lawan, digunakan cara-cara non tradisional seperti ekonomi, diplomatik, cyber, media dan lain sebagainya. Elemen-elemen 4GW terdiri dari high tech,terorisme,a non national or transnational base,a direct attack on the enemy’s culture,highly sophisticated psychological warfare terutama dengan memanipulasi media.

Indonesia dengan wilayah yang sangat luas serta terdiri atas pulau-pulau menuntut strategi pertahanan negara yang tepat untuk mengamankan wilayah tersebut. Karakteristik geografi yang tersusun dari gugusan kepulauan yang terletak di posisi silang, dengan sumber daya alam yang beraneka ragam, serta demografi yang majemuk mengandung tantangan yang sangat kompleks. Pertahanan negara yang komprehensif dalam menghadapi setiap ancaman dengan memadukan seluruh kekuatan bangsa, baik kekuatan militer maupun nirmiliter yang merupakan pengejawantahan sistem pertahanan yang dianut bangsa Indonesia yakni sistem pertahanan yang bersifat semesta. Tugas melindungi dan mengamankan Indonesia dengan karakteristik yang demikian mengisyaratkan tantangan yang kompleks dan berimplikasi pada tuntutan pembangunan dan pengelolaan sistem pertahanan negara yang berdaya tangkal andal.

Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai komponen utama dari sistem pertahanan negara harus senantiasa mencermati perkembangan global maupun regional khususnya mengenai pertahanan dan keamanan dikaitkan dengan kemajuan teknologi dan penerapannya di dunia militer. Undang-Undang RI Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia pada Pasal 5 menyebutkan bahwa TNI berperan sebagai alat negara di bidang pertahanan yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara. TNI sebagai penjaga kedaulatan negara belum bersentuhan dengan RMA dalam menjalankan perannya. Kondisi ini terjadi akibat kurangnya pemahaman tentang masalah tersebut dan juga tidak terlepas dari pengaruh keterbatasan anggaran yang disediakan pemerintah. Namun walaupun demikian bukan berarti Indonesia tidak dapat melaksanakan RMA. Untuk dapat menyesuaikan diri Indonesia perlu terus memutakhirkan kebijakan dan strategi pertahanan negaranya. Perkembangan Tentara Nasional Indonesia (TNI ) sendiri dewasa ini memiliki banyak keterbatasan. Alut sista yang mayoritas sudah tua dan dengan teknologi yang tertinggal namun dihadapkan dengan anggaran pertahanan hanya mampu untuk pemeliharaan secara terbatas. Namun masalah tersulit dari penerapan RMA yang sesungguhnya adalah merubah paradigma dan cara pandang itu sendiri. Untuk itu diperlukan langkah-langkah cerdas dalam mengantisipasi setiap perkembangan yang terjadi pada saat ini.


BAB II
LANDASAN PEMIKIRAN

2. Umum.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam dekade terakhir ini memberikan dampak yang sangat besar di segala bidang termasuk di bidang militer. Perkembangan teknologi dan industri pertahanan, dinamika lingkungan strategis dan pengaruh lingkungan global telah menimbulkan revolusi di bidang kemiliteran, yang sekarang ini populer dengan istilah Revolution in Military Affairs (RMA). Revolution in Military Affairs merupakan suatu perubahan yang mendasar tentang bagaimana perang dilaksanakan dan dimenangkan, yaitu dengan menggunakan kekuatan secara efektif dan efisien. Perubahan besar dan mendasar dalam peperangan tersebut disebabkan oleh penerapan inovasi teknologi yang dikombinasikan dengan perubahan doktrin militer dan operasi serta konsep organisasi. RMA menghasilkan suatu karakter militer baru dalam melaksanakan operasi militer.

Pengaruh lingkungan global yang terjadi pada saat ini, juga telah menyebabkan timbulnya perubahan dalam pengelompokan generasi peperangan, di mana sekarang ini sudah pada taraf peperangan generasi keempat. Peperangan generasi keempat merupakan konsep baru yang berpijak pada masyarakat yang saling terhubungkan, lintas negara dan berbasis informasi. Ancaman yang timbul pada era peperangan generasi keempat (4th Generation Warfare) adalah bentuk ancaman baru yang muncul sebagai dampak dari era globalisasi dimana pola dan bentuk ancamannya tidak sama. Ancaman dapat bersifat non-militer/non-konvesional atau non-tradisional yang berdimensi internasional serta sulit diprediksi dan datang secara tiba-tiba tanpa adanya peringatan. Ancaman dapat menghantam secara dahsyat sendi-sendi keutuhan dan keselamatan bangsa dan negara, seperti terorisme, transnational crime, peredaran dan penelundupan senjata ringan. Isu terorisme yang kini merebak di tengah-tengah masyarakat dunia merupakan salah satu bentuk aksi kekerasan dengan menggunakan kekuatan yang terorganisir sehingga menjadi sebuah ancaman yang sulit di prediksi dan kadang tidak ada keterkaitan antara satu dengan yang lainnya, yang mengancam terhadap sebuah negara maupun individu.


3. Landasan Historis.

Pada akhir abad milenium, kita memasuki era baru dalam perkembangan persenjataan perang. Diawali dengan perubahan situasi masyarakat teknologi, ekonomi dan system kerja yang telah mengalami perubahan dan oleh karena itu kita harus menyadari bahwa adalah alamiah jika kemiliteran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat juga mengalami perubahan. Kita telah memasuki era perubahan dalam konsep kemiliteran (RMA) yang tidak pernah dialami sejak Perang Dunia II. Perkembangan RMA ini tidaklah asing dalam sejarah peperangan, tetapi hanya merupakan hal yang baru dalam rangkaian terobosan teknologi yang telah dikembangkan dari waktu ke waktu sebagai contoh pada peristiwa Longbow (Busur Panjang) tahun 1346, senapan mesin tahun 1879, Blitzkrieg dan kapal induk dalam Perang Dunia II. Apabila dirunut dari awal, bisa disebutkan hal-hal yang terjadi dalam peperangan atau penggunaan temuan baru yang menjadi titik balik peperangan yang telah terjadi, yaitu:

a. Dari batu menjadi besi – perlombaan senjata dimulai dari gua-gua.
b. Lahirnya apa yang disebut “Standing Armies” – dipicu dari rasa keagamaan
dan wajib militer yang dikendalikan oleh rasa nasionalisme.
c. Peperangan terbatas – ekonomi dan maneuver pasukan berkuda.
d. Senapan locok – perang senapan memasuki masanya.
e. Kubu pertahanan – dengan anti perkubuannya, blockade artileri.
f. Mobilisasi – pertempuran berdasarkan “Railroad timetable” (jadwal kereta).
g. Blitzkrieg – perang Kilat serta awal munculnya tank.
h. AL modern – proyeksi kekuatan ke seluruh dunia.
i. Kapal-kapal selam – adanya peperangan dibawah gelombang.
j. Kekuatan udara – Instalasi-instalasi militer dan kota-kota sipil dimungkinkan
untuk diserang melalui udara.
k. Senjata pintar – amunisi yang memiliki akurasi tinggi untuk menjamin ketepatan
sekaligus memisahkan sasaran dengan yang bukan sasaran.
l. Gerilya atau asymmetrical warfare – masalah masa kini .

Sejarah sudah memiliki bukti bahwa sejak manusia menjadi mahluk sosial, manusia selalu terlibat dalam peperangan. Peperangan generasi pertama berjalan sekitar 1648-1860, ini adalah perang dengan taktik ber-saf dan berbanjar, dimana pertempuran terlihat formal dan tertib serta merupakan "Perang Langsung" atau Direct War. Inilah generasi langsung dari peperangan baris dan kolom dengan menggunakan seolah-olah taktik bunuh diri dan seringkali menyebabkan banyak perajurit berjalan kaki jauh dalam peperangan ini.

Peperangan generasi kedua dikembangkan oleh AD Perancis selama dan setelah Perang Dunia I, mereka memanfatkan kekuatan tembakan artileri yang kuat, sebagian besar adalah artileri langsung. Sedangkan tujuannya adalah untuk mengikis kekuatan musuh dan dalam doktrin yang dianut oleh Perancis yaitu, "Kuasai oleh artileri, infanteri yang menduduki." Dikendalikan oleh pusat tembakan dengan diselaraskan secara hati-hati, menggunakan perhitungan yang terinci, spesifik sesuai permintaan untuk infanteri, tank dan artileri dalam pertempuran, dimana komandan berlaku seperti seorang konduktor pada sebuah orkestra.

Peperangan generasi ketiga, seperti generasi kedua adalah produk dari Perang Dunia I. Peperangan itu dikembangkan oleh AD Jerman, dan umumnya dikenal sebagai Blitzkrieg atau perang kilat. Peperangan generasi ketiga tidak didasarkan pada kekuatan tembakan dan kecepatan penghancuran. AD Jerman tidak hanya melakukan perubahan pada taktik peperangan yang selama ini menjadi pakem militer, namun dalam peperangan generasi ketiga ini, militer fokus pada situasi yang membuatnya menjadi luar biasa dan hasilnya memang membutuhkan hal tersebut.

Peperangan generasi ke empat adalah karakteristik pertempuran dengan garis batas yang tidak jelas antara perang dengan politik, tentara dengan sipil, damai dengan konflik, medan tempur dan keamanan. Pada terminologi peperangan generasi modern, generasi ke empat menandakan akan hilangnya monopoli suatu negara terhadap pasukan tempurnya, sama halnya dengan pertempuran yang tidak terkontrol pada era pra modern. Definisi termudah termasuk perang-perang yang pelaku utamanya bukan negara, akan tetapi jaringan ideologi yang agresif atau bahkan brutal. Dalam hal ini terminologinya mirip dengan pengertian tentang terorisme dan asymmetric warfare, serta lebih mendekati .

4. Landasan Teoritis.

a. Teori Murray. Menurut Williamson Murray, revolusi militer terdiri dua bagian yaitu Military Revolution dan Revolution in Military Affairs (RMA). Military revolution tidak saja mengubah karakter perang secara mendasar namun juga mengubah bentuk masyarakat dengan negara (nature society and the state).

Sementara itu, Revolution in Military Affairs lahir setelah Military Revolution terjadi. Murray mendefinisikan RMA sebagai : ”RMA involve putting together the complex pieces of stactical, societal, organizational or even technoligical changes (Brought about by military revolution) into new conceptual approcach to war”.

b. Teori William S. Lind. Menurut William S. Lind, era peperangan sudah memasuki ke arah Perang Generasi keempat (Fourth Generation Warfare) yang mempunyai ciri-ciri antara lain :

1) Pencapaian mission orders akan cenderung semakin banyak ditentukan oleh organisasi level bawah.

2) Semakin pentingnya dispersi maka setiap unit terkecil harus dapat beroperasi secara mandiri dan tidak bergantung pada logistik terpusat.

3) Kemampuan manuver suatu pasukan akan semakin penting dan menentukan, dibandingkan dengan jumlah ataupun firepower yang dimiliki pasukan tersebut, karena konsentrasi massa dan firepower justru membuatnya semakin mudah untuk diserang. Pasukan kecil namun punya kemampuan manuver tinggi, cepat dan lincah akan mendominasi pertempuran.

4) Dalam menghancurkan musuh, cara yang digunakan akan lebih cenderung dengan menghancurkan musuh secara internal dibandingkan secara fisik. Menghancurkan musuh secara internal contohnya seperti: menekan basis dukungan politik, finansial dan material lawan melalui serangan terhadap sosial budaya lawan.