Kamis, 16 Juli 2009

Revolution.




Antara Aku, Si Gingsul dan JR

Seorang teman memperhatikan profilku dan juga merelakan dirinya di racuni oleh blogku. Selang sehari dia mengirim message, di akhir message itu ada ungkapan darinya bunyinya seperti ini “Entah apa yang ada di kepalamu”. Pada mulanya aku tak menghiraukan kata-kata tersebut namun tiap kali aku akan membalas messagenya, jawabanku serasa tidak pas karena mengabaikan ungkapannya tersebut,dan akupun merasa harus tau siapa yang ada di kepalaku. Karena sudah lewat tiga hari aku belum bisa menjawab aku merasa tidak enak padanya, takut di kira jaim. Maka kuputuskan untuk menemui seseorang nanti malam jam 2 dini hari, ku setting alarm HP ku agar aku tidak terlambat menemuinya soalnya dia sibuk sekali.

Setelah memberikan salam ke kenan dan kekiri , kakekku menepuk pundaku dari belakang sambil membalas salam ku. Seperti biasa dia menggunakan baju merah jambu lengan panjang, peci putih dan celana hitam, penampilan terakhir yang aku lihat ketika beliau sakit keras sejak senin dan meninggalkan kami hari jumatnya, sebelas tahun yang lalu. “What wrong my grandson?” sapanya ramah. “ Biasa kek pikirannku keseleo” jawabku senang melihat jenggot putihnya lagi. “to the point aja yah!, soalnya adikmu juga mo konsultasi jam 4 pagi ini, biasa masalah jodoh” lanjutnya “ Yo’I, begini kek seseorang bertanya padaku siapa yang ada di kepalaku”. Kataku dengan wajah di serius- seriusin. “ Kamu pikir kepala dan tubuhmu itu siapa?”. Kakekku bales bertanya. “ Kepala dan tubuhku ya..aku” jawabku yakin sekali. “Ha..ha…ha…. jaman dulu memang belum ada air tajin yang mengandung DHA dan Probiotic, makanya kamu kurang cerdas” Katanya lagi. Selera humor kakekku belum hilang rupanya. “Isi yang ada di kepala itu ya kamu, kepala dan tubuh itu bukan dirimu, entah siapa dia, dia tak ada hubungannya denganmu”. Ungkapnya. “Bisa dibantu alat peraga Kek, Biar jelas!”. Pintaku karena bingung. “Baiklah.., mendekatlah kamu kemari!” Dia menyuruhku. Kemudian aku berdiri dan berjalan kearahnya, ajaib sekali tubuhku tetap duduk disana, sedangkan aku ooo aku diwakili cahaya putih, cahaya itu membentuk inisial “Tb” baru kali ini aku melihat wajahku yang sebenarnya. Ya..ya…inilah aku Tb, “Lalu siapa kamu?” tanyaku sambil menunjuk si gingsul yang sedang duduk itu.”Aku bukan siapa-siapa, tapi siapa-siapa adalah aku. Aku jarang kamu pikirkan tapi kamu takut sekali padaku” jawabnya sambil tersenyum menyeringai, aneh kok senyumnya memuakan seperti itu, biasanya manis, manis banget malah.

“Kek tolong jelaskan semua ini” pintaku pada kakek dengan sikap tak perduli pada jawaban si gingsul. “Begini Cu, kamu dapat melihat sesuatu, walaupun matamu, maksud kakek mata si gingsul itu belum pernah melihat sesuatu tersebut, itu namanya intuisi. Intuisi lebih nyata di bandingkan pengalaman indrawi. Contoh rasa lapar, haus, marah, dan kesenangan tak ada satupun dari hal-hal tersebut yang berwujud tapi semuanya terasa lebih nyata di bandingkan hal-hal yang berwujud dan terindra. Apabila kamu menutup matamu, kamu tidak dapat lagi melihat yang berwujud. Meski demikian kamu tidak dapat menghalau lapar dari dirimu sendiri dengan tipu muslihat apapun. Sama halnya dengan panas dan dingin, rasa manis dan pahit pada makanan, semuanya tidak berwujud tapi lebih nyata dari pada yang berwujud. Begitu terangnya sambil mengelus jenggot. “ Bisa di beri contoh yang lebih real Kek!” pintaku lagi. “ Aku dengar kamu pernah senang sampai loncat-loncat ketika di add seseorang?” tanyanya dengan mata genit. “Yup! itu benar adanya” jawabku berbinar. “Perasaan senang, dan bahagia atau rindu dan terluka semua tak berwujud, tapi lebih nyata daripada yang berwujud, coba Tanya sama si gingsul itu apakah pernah dia melihat dan bertemu dengan seseorang yang membuatmu meleleh itu?” tanyanya lagi. “Gingsul jawab!” kataku pada si gingsul. Si gingsul menggeleng wajahnya tak berminat menjawab. “ Tentu tidak, dia tidak memiliki pengalaman indrawi apapun dengannya, tidak menatapnya apalagi menyentuhnya, tapi kamu Tb bisa bahagia tanpa campur tangan si gingsul itu”. Kata kakeku lagi.

Kata-kata kakeku kali ini memberiku pemahaman yang berhembus sejuk ke dalam jiwaku. Aku tatap dalam-dalam si gingsul, dia balas menatapku tatapanya pasrah seperti orang yang rahasianya terbongkar. Selama ini aku pikir kamu adalah aku, aku terlalu bergantung padamu. “jadi apa yang harus aku lakukan pada si gingsul sok manis ini kek?” tanyaku sambil menunjuk tubuhku si gingsul yang sedang garuk-garuk kepala tapi tak gatal mulutnya mecucu tanda tak senang. “Bantulah dia, karena kamu adalah tuannya, berikanlah dia makanan yang baik, jangan beri dari sesuatu yang bukan hakmu karena dia akan liar, dan akan berusaha lagi menguasaimu untuk menjadikanmu budaknya” terang kakeku. “Jangan biarkan ia meminum spirtus dan mengunyah tembakau, itu kebiasaan burukmu bukan kebiasaannya” lanjutnya. Si gingsul nganguk-nganguk wajahnya senang karena merasa dibela.

“ Kenapa kamu menghargai tubuh sedemikian tinggi? Hubungan apa yang kamu miliki dengannya? Kamu mendapatkan makanan tanpanya, terus hidup tanpanya. Pada malam hari kamu tak memperdulikannya dan pada siang hari kamu di sibukan dengan perhatian pada yang lain. Karena kamu jarang memperhatikannya, mengapa kamu merasa gemetar ketakutan terhadap tubuh? Kamu berada di sini, tubuh berada di tempat lain, tubuh ini adalah penipuan besar. Kamu kan tau orang-orang suci menyadari dirinya, mereka menghentikan perhatian pada tubuhnya, mereka tak lagi memperdulikan apakah tubuh itu ada atau tak ada” Kali ini kata-kata kakekku serius sekali demikin juga raut mukanya. Si gingsul keki berat. “Tapi aku bukan orang suci kek? Tanyaku sedikit protes. “ Kamu bukan orang suci, tapi kamu waras, untuk orang waras sepertimu ada perumpamaan yang dapat membantu” begini katanya. “Ada seseorang yang sedang berhalusinasi karena ekstasi, ia menyandarkan kepalanya pada pintu hotel dan menjerit,”jangan pindahkan pintu! Apabila engkau lakukan kepalaku akan jatuh”. Dia berpikir kepalanya bersatu dengan daun pintu dan terpisah dengan badan dan kakinya, kepala adalah akalmu dia bersatu dengan badan dan kakimu, badan dan kaki adalah hati dan nuranimu. Kepalamu tidak bersatu dengan daun pintu, daun pintu adalah tubuhmu, dia bukan penopang yang sebenarnya, menopang sementara saja, sebentar saja 65 sampai ya…75 tahun lah”. Katanya, merujuk pada umur nenek dan umurnya.

“Semuanya sudah kakek sampaikan, kiranya kamu sudah mengerti harus bersikap bagaimana terhadap tubuhmu itu, sekarang apakah ada yang mau kamu tanyakan lagi?” .Dia memberikan kesempatan terakhir. “Ada kek, eu…. dulu nenek waktu masih mudanya cantik ya kek? Tanyaku ragu-ragu. “Sudah pasti cantik, cantik sekali”. Jawabnya bangga. “Jadi menurut kakek, sebenarnya tubuh itu penting atau tidak kek?”. Tanyaku seraya tak sabar ingin mendengar jawabannya. Dia terdiam sejenak kemudian menjawab” Tubuh kakek tidak penting tapi tubuh nenekmu sangat penting” Jawabnya plin-plan. “Alah….laki-laki gak yang muda gak yang tua gak yang hidup gak yang mati sama saja!!” Si gingsul yang sedari tadi diam tiba-tiba nyeletuk penuh kemenangan. “ Kakek harus menemui adikmu sudah mau jam 4, kalau gak datang nanti di kira Jaim, berhati-hatilah dengan si gingsul itu kelihatannya dia cukup cerdas” Kata kakeku mewanti-wanti. “Baik kek” jawabku. “ Dan setelah ini jangan kau hampiri dia, biarkan dia menghampirimu, kamu adalah tuannya”. Katanya sembari bersiap untuk pergi. Setelah mengucapkan salam dia menghilang meninggalkan aku dan si gingsul. “Hei! Gingsul kemari kamu!. Aku mulai memerintahnya. Si gingsul berdiri dengan langkah malas mendekatiku “Tidak bisakah kita berdamai saja?” Katanya membujuku. “Bisa, apa sih yang nggak bisa di atur sama aku? Aku senang berteman dengan siapa saja termasuk dengan kamu ”. Aku memeluknya dan kita bersatu kembali.

Caution! : Cerita di atas adalah fiktif belaka dan rekaan saja. Dalam kenyataanya memang aku sering bangun malam untuk berbincang, tapi bukan dengan kakekku, melainkan dengan pemilik kakekku. Ttd Tb.
“Bohong dia bangun malam niatnya untuk nonton Liga Inggris, merenung kalo pas team kesayangannya kalah saja soalnya dia gak bisa tidur lagi”. Ttd Gingsul.
“Aku senang dengan kalian berdua, nampak akrab!” Ttd. Jalaluddin Rumi

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Mantap kreatif abis....
inovasi gila...tapi dalem.